Menang Juta, Tapi Menangis Saat Mati

Saya duduk di dekat jendela jam 3 pagi, menyesap teh sambil memperhatikan tangan terakhir di meja baccarat virtual. Layar berkedip—bukan dengan semangat, tapi dengan ketenangan. Di luar, London tidur. Di dalam, algoritma menari tanpa henti. Saya dulu mengajarkan anak-anak membaca ketakutan. Kini, saya merancang permainan yang menanyakan lebih dalam: apa artinya menang—tapi tetap kosong? Di Rio’s carnival, sorak drum bergemuruh; di sini, kami bertaruh dengan jiwa dan menyebutnya keberuntungan. Baccarat bukan kebetulan. Ini adalah ritme. Tepi rumah selalu ada—rumah menang lebih dari Anda—but what if your win was never yours to begin? ‘Tie’ itu delapan-ke-satu—but rarely comes. ‘Lucky Streak’ memikatmu untuk mengejar bayangan—sampai kamu lupa kenapa kamu bermain sama sekali. Saya melihat perempuan mencatat kemenangan mereka di layar kecil: tangkapan tangan merah, pengakuan bisik di bawah cahaya bulan. Seseorang menulis: ‘Saya menang… tapi tak tersenyum.’ Mereka menyebutnya strategi. Tapi strategi tanpa ketenangan hanyalah suara noise. RNG tidak berbohong—it just doesn’t care. Jadi kita berhenti. Kita bernapas. Kita menyaksikan bintang-bintang di langit malam Rio—not to win again, but to remember what it felt like to be human. Ini bukan hiburan. Ini duka yang disulam sebagai sukacita.